Menu Close
‘World Class University’ menjadi target bagi banyak kampus di Indonesia. Rahmaray/shutterstock.

Target ‘World Class University’: mau dibawa ke mana perguruan tinggi Indonesia?

Upaya pemerintah dalam mendorong perguruan tinggi Indonesia menjadi World Class University (WCU) seolah hanya wacana di atas kertas. Alih-alih menyelesaikan berbagai permasalahan bangsa, upaya ini justru bisa berkontribusi menjadi penyumbang masalah.

Pasalnya, upaya-upaya menuju WCU masih sebatas mendorong perguruan tinggi Indonesia terindeks di pemeringkatan perguruan tinggi global (semisal QS World University Rankings dan THE World University Rankings), tapi nampaknya gagal menyertakan solusi untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersumber dari belum kokohnya peran perguruan tinggi kita dalam pembangunan nasional.

Perguruan tinggi berjarak dengan realita

Salah satu contoh ketidaksiapan perguruan tinggi Indonesia dalam menyelesaikan masalah bangsa adalah minimnya dukungan mereka kepada upaya-upaya untuk keluar dari middle income trap—yaitu situasi ketika negara berpendapatan menengah gagal melakukan transisi ke perekonomian berpendapatan tinggi karena meningkatnya biaya dan menurunnya daya saing.

Sebagai contoh, pemanfaatan hilirisasi sumber daya alam belum maksimal terjadi karena kegagalan institusi pendidikan tinggi dalam melakukan riset dan pengembangan teknologi pendukung hilirisasi.

Alasan bahwa nilai tambah dari hilirisasi nikel itu 90% dinikmati oleh Cina sedangkan Indonesia hanya 10% saja adalah belum siapnya Indonesia dalam melakukan pengembangan riset dan teknologi di bidang hilirisasi nikel. Hal yang sama terlihat dari sangat bergantungnya Indonesia dalam pembangunan bahkan hingga operasionalisasi kereta cepat.

Terhambatnya kemajuan teknologi tersebut menyebabkan Indonesia “kerap” mudah bergantung pada teknologi negara lain. Akar masalah ini sejatinya disumbang dari “kegagalan” perguruan tinggi dalam menciptakan teknologi dan sumber daya manusia (SDM) yang mampu mengambil alih proses hilirisasi tersebut. Ujung-ujungnya, Indonesia mengalami stagnasi industrialisasi yang berdampak pada menurunnya angka produktivitas selama beberapa dekade terakhir.

Data Asian Productivity Organization (2020) memperlihatkan, output ekonomi Indonesia (pertumbuhan ekonomi) pada periode 2010-2018 tumbuh lebih pelan (5,2% per tahun) daripada pertumbuhan modal atau input-nya (6,2% per tahun). Artinya, produktivitas ekonomi Indonesia turun sekitar 1% tahun.

Selain itu, dalam ukuran inovasi, data Global Innovation Index 2022 menunjukkan Indonesia berada pada peringkat ke-75 dari 111-an negara yang dinilai. Posisi Indonesia masih jauh di bawah negara-negara ASEAN lainnya, sebut saja Malaysia (36), Thailand (43), hingga Filipina (59).

Dari data tersebut, terlihat bahwa ranking dari aspek pedidikan tinggi berada pada peringkat 93, lebih rendah daripada ranking inovasi secara umum. Ini menunjukkan bahwa perguruan tinggi Indonesia belum mampu menjadi pendukung dalam aktivitas inovasi di Indonesia.

Tantangan mendasar WCU

Upaya mewujudkan universitas kelas dunia di Indonesia juga masih terbentur persoalan klasik, seperti belum meratanya akses pendidikan di tanah air, rendahnya kualitas penelitian dan publikasi, serta kebijakan riset yang salah sasaran.

1. Ketimpangan akses

Akses pendidikan tinggi yang meningkat ternyata belum tentu bisa menurunkan angka ketimpangan, terutama jika aksesnya tidak merata. Ini dibuktikan dengan penelitian Takahiro Akita (2015) yang menunjukkan bahwa semakin tingginya akses pendidikan tinggi di perkotaan berkontribusi meningkatkan ketimpangan di Indonesia.

Selain itu, ketimpangan akses pendidikan tinggi ini bukan sebatas berbicara keadilan, melainkan juga efisiensi. Sebut saja misalnya, adanya jalur mandiri yang memberikan akses lebih kepada siswa dari kelompok masyarakat dengan kemampuan finansial lebih untuk masuk ke perguruan tinggi.

Artinya, secara umum, mereka sangat mungkin merupakan kelompok dengan kemampuan akademik yang lebih rendah dari masyarakat menengah ke atas sehingga tidak bisa masuk ke perguruan tinggi dari jalur yang lebih kompetitif.

Tentunya, ini kondisi yang tidak efisien karena banyak calon mahasiswa dengan kompetensi lebih baik dari kelompok ekonomi bawah “tersingkir” (karena tidak mampu secara finansial) oleh “kelompok sisa” tersebut dan pada akhirnya menyebabkan kualitas intake dari mahasiswa secara rata-rata lebih rendah daripada potensinya.

2. Kualitas riset rendah

Sampai saat ini, belum ada satu pun perguruan tinggi Indonesia masuk dalam Academic Ranking of World Universities (ARWU), yang merilis daftar 1.000 perguruan tinggi dunia menggunakan berbagai kriteria penilaian yang objektif seperti perolehan hadian Nobel atau publikasi di jurnal Nature dan Science. Demikian pula, belum ada satupun peneliti Indonesia masuk dalam Clarivate Highly Cited Researchers yang mengklasifikasi peneliti yang menerbitkan penelitiannya di jurnal-jurnal dengan impact tinggi.

Ranking perguruan tinggi Indonesia dalam Times Higher Education (THE) juga cenderung memburuk. Tahun 2022 dan 2023, tak satupun institusi pendidikan tinggi di Indonesia masuk dalam Top 1000 dunia. Sementara negara serumpun, seperti Malaysia, secara konsisten mampu menempatkan 11 perguruan tinggi.

Karena perangkingan THE menempatkan bobot tinggi dalam research impact, terpuruknya ranking perguruan tinggi di Indonesia di THE erat kaitannya dengan tren memburuknya kualitas publikasi ilmiah Indonesia.

Ranking-ranking perguruan tinggi di Indonesia hanya sedikit lebih baik kalau menggunakan QS World University Rankings, yang sudah terbukti sangat rentan dengan konflik kepentingan.

3. Confused period: kebijakan salah arah

Semakin menurunnya proporsi publikasi Indonesia di jurnal-jurnal yang berkualitas disumbang oleh adanya kebijakan yang tidak tepat. Indonesia pernah mengalami “periode kebingungan” untuk kebijakan riset pada 2015-2022, karena seperti tidak bisa membedakan mana alat dan mana tujuan dalam menggenjot publikasi ilmiah.

Pemerintah cenderung menelurkan kebijakan yang berfokus pada peningkatan kuantitas, bukan kualitas, untuk mendongkrak publikasi dan menyaingi jumlah publikasi negara tetangga. Publikasi berupa makalah hasil konferensi ilmiah (prosiding) (menjadi populer) dan meningkat padahal kualitas publikasi prosiding umumnya sangat diragukan karena umumnya tidak melalui proses tinjauan (review) yang baik. Sementara proporsi publikasi di jurnal ilmiah-ilmiah berkualitas justru menurun.

Kebijakan lain adalah kewajiban publikasi ilmiah bagi kandidat doktor dan buruknya sistem insentif yang rentan menimbulkan moral hazard atau efek kobra, yaitu praktik peneliti kutipan penelitiannya sendiri demi mendongkrak reputasi.

Orientasi kebijakan yang keliru ini menyebabkan Indonesia berada di peringkat dua dunia dalam intensitas publikasi di jurnal predatory (abal-abal) dan layak untuk disebut sebagai episentrum global dari academic dishonesty.

Apa solusinya?

Jika dipetakan, belum optimalnya peran konkret perguruan tinggi dalam menjawab berbagai tantangan bangsa seperti rendahnya kualitas riset dan inovasi, berasal dari faktor kualitas SDM dan lingkungan kebijakan pendukung (policy environment).

Kualitas dosen dan peneliti yang relatif kurang baik terkait dengan rendahnya global expobsure bahkan rendahnya etika akademis. Ini menandakan bahwa akademisi kita belum banyak yang terjun dan bergaul dengan komunitas global. Untuk ini diperlukan solusi yang benar-benar menyentuh akar masalah.

Di tingkat internal, solusi yang bisa ditawarkan antara lain memperbaiki sistem rekrutmen, sistem jenjang karier, penerapan kode etik, penerapan pendidikan etika sejak dini, serta fasilitasi keaktifan akademisi dalam berbagai forum global.

Di faktor lingkungan kebijakan, masalah yang ada cukup banyak. Pertama, riset belum menjadi prioritas nasional. Data anggaran penelitian menunjukkan bahwa pendanaan riset di Indonesia masih kurang. Tahun 2020 proporsi pengeluaran Research and Expenditure Indonesia hanya 0,28% terhadap PDB. Masih jauh dibandingkan negara tetangga seperti Thailand misalnya sebesar 1,21% atau rata-rata negara middle income sebesar 1,91%.

Kedua, sistem insentif yang tidak sempurna dan kurangnya global benchmarking dari para pengambil kebijakan melahirkan kebijakan yang tambal-sulam.

Beberapa solusi utamanya adalah meningkatkan dana riset publik, pemberian insentif untuk swasta dalam riset, tata ulang syarat publikasi S-3, tata ulang kepangkatan guru besar, penyempurnaan sistem insentif di perguruan tinggi, mempelajari praktik baik internasional, hingga tetap menjadikan perguruan tinggi sebagai pusat pengetahuan bukan hanya “pabrik pekerja” atau “pelayan” industri.

Perguruan tinggi, dan juga pemerintah, perlu melakukan refleksi tentang berbagai program World Class University. Iklim kompetisi di antara institusi pendidikan tinggi memang harus dibangun, tetapi dalam koridor untuk menjalankan misi kolektif bangsa, bukan terjebak dalam paradigma ranking-oriented yang berbahaya. Jangan sampai, perguruan tinggi sekedar mencari ranking dan bersaing dalam zero-sum-game, alih-alih berperan menjawab berbagai tantangan yang dihadapi Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 186,800 academics and researchers from 4,994 institutions.

Register now