Menu Close
An orangutan hanging off a rope.
Pemerintah Malaysia telah meluncurkan skema untuk menggunakan “diplomasi orangutan”. R.M. Nunes / Alamy

Mengapa diplomasi orang utan Malaysia menuai kritik sebelum dimulai?

Malaysia berencana menghibahkan orang utan untuk mitra ekonomi utamanya, sebagai salah satu cara meningkatkan citra mereka di dunia internasional sekaligus membangun aliansi. Rencana “Diplomasi Orangutan” ini dibenarkan oleh Menteri Pertanian dan Komoditas Malaysia, Johari Abdul Ghani, dalam konferensi biodiversitas, awal Mei lalu.

Malaysia mengumumkan rencana tersebut beberapa hari setelah Uni Eropa, salah satu importir terbesar minyak sawit Malaysia, bersepakat untuk melarang impor produk pertanian yang ditanam di lahan hasil pembabatan hutan setelah 2020. Perusahaan-perusahaan yang hendak mengekspor produk pertaniannya ke Eropa harus membeberkan bukti, misalnya melalui citra satelit, bahwa produknya tidak ditanam di lahan seperti itu.

Kebijakan ini dapat memukul industri sawit Malaysia, yang dituduh menghancurkan habitat spesies-spesies terancam di hutan, salah satunya orang utan.

Tanpa adanya rencana konservasi yang menyeluruh, kebijakan Malaysia berisiko menuai kecaman internasional bahwa pemberian orang utan adalah penghargaan bagi importir minyak sawit utama mereka. Ini juga dapat merusak jalannya program konservasi, pun citra Malaysia.

Dalam bahasa Melayu dan Indonesia, orang utan berarti orang hutan. Kera besar ini hanya ditemukan di Malaysia dan Indonesia. Mereka memiliki kulit kemerahan, bertangan panjang, bantalan pipi, dan—seperti panda dari Cina, ibu jari yang berlawanan.

Orang utan memiliki kecerdasan seperti manusia dan mereka juga memakai obat herbal untuk menyembuhkan luka, mereka berkomunikasi satu sama lain dengan bahasa isyarat.

Sayangnya, populasi orang utan terus berkurang. Lembaga WWF (sebelumnya the World Wide Fund for Nature) menyatakan bahwa seabad lalu, ada lebih dari 230 ribu individu orang utan. Kini, populasi orang utan sudah berkurang separuhnya. Primata ini berstatus kritis terancam.

Perburuan dan perdagangan satwa ilegal memang menjadi salah satu penyebabnya. Namun, biang keladi sebenarnya adalah deforestasi akibat minyak sawit. Industri ini menyebabkan hutan luas—habitat orang utan—dibabat untuk perkebunan kelapa sawit.

Rencana mengirim orang utan ke importir minyak sawit utama jelas kontroversial. Stuart Pimm, pakar ekologi konservasi dari Duke University, Amerika Serikat, menggambarkan diplomasi orang utan sebagai diplomasi yang “tidak layak” dan “menjijikkan”. Stuart menekankan bahwa, tidak seperti panda raksasa di Tiongkok, orang utan tidak memiliki fasilitas canggih dan kawasan lindung di kampung mereka.

Aerial view of a palm oil plantation in Malaysia.
Foto udara perkebunan sawit di Malaysia. Alexandra Radu / Alamy

Ekonomi Malaysia sangat bergantung pada sawit. Sekitar 5% PDB Malaysia pada 2022 datang dari sektor ini. Ekspor sawit juga salah satu sumber utama perolehan devisa mereka. Minyak sawit adalah komoditas serba guna dan hemat biaya. Minyak sawit biasa digunakan untuk produk minyak goreng, lipstik, sampo, deterjen, sabun, coklat, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Johari menekankan gagasan pemberian orang utan adalah strategi diplomasi untuk meyakinkan mitra ekonomi Malaysia bahwa mereka berkomitmen untuk mengembangkan perekonomian sekaligus melestarikan satwa liar. Malaysia juga ingin mencoba menebus publikasi buruk soal sawit berikut kebijakan industrinya.

Inspirasi Malaysia: sejarah diplomasi panda Cina

Gagasan diplomasi orang utan terinspirasi dari kesuksesan proyek diplomasi panda Cina. Legenda menyebutkan diplomasi panda dimulai sejak era Dinasti Tang (618-907), tapi baru berkembang setelah kunjungan resmi Presiden Amerika Serikat Richard Nixon dan istrinya Pat Nixon ke Cina pada Februari 1972.

Dua bulan berselang, Ling-Ling and Hsing-Hsing tiba di National Zoo di Washington DC. Setahun berselang, kehadiran mereka sudah menarik lebih dari 1,1 juta pengunjung. Dua panda kemudian menjadi bintang di kebun binatang itu selama bertahun-tahun.

Sebagai alat kekuasaan lunak atau soft power tool, diplomasi panda dirancang untuk membangun aliansi dengan negara lainnya.

Program ini berkembang hingga menjadi urusan konservasi pada awal 1990an. Beijing telah mengirimkan lusinan panda ke mitra-mitra kuncinya di seluruh dunia.

Ada tiga elemen penting yang menopang kesuksesan diplomasi panda. Pertama, panda memiliki daya tarik visual. Para pakar menganggap panda memiliki kindchenschema, serangkaian karakteristik canggung dan kekanak-kanakan yang membangkitkan empati dan hasrat melindungi dari manusia.

Kedua, panda hanya dapat ditemukan di Cina. Ketika warga asing melihat panda sebagai hewan yang menggemaskan, ramah, dan damai, mereka menautkannya dengan China secara eksklusif.

Ketiga, inisiatif ini terhubung dengan program konservasi penting. Saat orang-orang mengkritik aspek politik diplomasi panda, komponen konservasi sebenarnya sudah mampu mematahkannya. Menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam, panda tak lagi tergolong hewan terancam punah. Di sinilah letak pentingnya diplomasi panda.

Apakah diplomasi orang utan mengikuti jejak panda? Keduanya memang memiliki fitur-fitur fisik yang unik dan menarik, tapi sebenarnya ada beberapa perbedaan penting.

Pertama, kebijakan pemerintah Cina meminjamkan panda sebagai alat diplomasi, bukan menghibahkan, ke sekutu strategis, bukanlah muncul karena tekanan eksternal. Yang paling penting, Cina juga berkongsi dengan kelompok konservasi seperti WWF, untuk membangun koridor-koridor hijau bagi panda. Upaya ini juga meraup apresiasi dari lembaga-lembaga konservasi.

Pada akhirnya, Kuala Lumpur harus jujur: dapatkah diplomasi orangutan membalikkan kemalangan yang mungkin menimpa ekspor minyak sawit Malaysia? Itu tidak mungkin.

Jika pengelolaan hutan, konservasi satwa liar, dan keberlanjutan produksi minyak sawit menjadi perhatian mitra dagang seperti Eropa, maka sebaiknya pemerintah Malaysia mengatasi masalah ini sebelum mempertimbangkan diplomasi hewan versi mereka sendiri. Saat ini, diplomasi orang utan lebih terlihat seperti sebuah bencana humas yang menunggu untuk terjadi.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 186,800 academics and researchers from 4,994 institutions.

Register now