Menu Close
T. Schneider/shutterstock.

Keluar dari tirani matriks: solusi alternatif untuk masalah publikasi ilmiah

Penelitian tahun 2022 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara terbanyak kedua, setelah Kazakhstan, yang menyumbang artikel di jurnal-jurnal terindikasi predator selama rentang tahun 2015-2017.

Hal ini, salah satunya, disebabkan oleh adanya kewajiban dosen untuk menerbitkan artikel di jurnal nasional terakreditasi atau jurnal internasional bereputasi. Kewajiban tersebut menjadi salah satu syarat dosen mendapatkan tunjangan profesi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Selain itu, ada juga syarat publikasi di jurnal internasional terindeks Scopus atau Web of Science bagi dosen yang ingin naik jabatan dari lektor kepala ke profesor.

Kebijakan ini mengikuti tren di sejumlah negara dan universitas yang menilai performa dosen berdasarkan jumlah artikel yang diterbitkan dan jumlah sitasi yang diperoleh, yang sebenarnya merupakan bentuk “tirani matriks”. Tirani matriks ini memiliki konsekuensi buruk, karena dapat menggeser tujuan kerja ke arah apa-apa yang dapat dihitung atau diukur.

Di Indonesia, tirani matriks ini diperparah dengan ketiadaan kultur akademis yang mendukung lahirnya publikasi-publikasi berkualitas. Gaji rendah dengan beban kerja melimpah tanpa ekosistem riset yang memadai membuat sebagian dosen mencari jalan pintas, mulai dari menggunakan jasa joki hingga menerbitkan artikel di jurnal-jurnal predator.

Ini menunjukkan bahwa masalah publikasi dosen di Indonesia berakar pada jebakan tirani matriks. Untuk keluar dari jebakan tersebut, model alternatif publikasi yang meletakkan proses peninjauan sejawat setelah artikel terbit (post-publication peer review) bisa menjadi salah satu solusinya.

Berhenti memuja kuantitas dan indeks

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) baru saja mengeluarkan data yang menunjukkan tren peningkatan jumlah publikasi internasional dosen dan peneliti Indonesia. Artinya, terdapat korelasi positif antara kebijakan Permenristekdikti tahun 2017 dan peningkatan jumlah publikasi ilmiah di Indonesia.

Namun, perkembangan ilmu pengetahuan bukan hanya soal kuantitas publikasi, melainkan soal kontribusi riset terhadap pemecahan masalah ilmiah. Penelitian tahun 2015 menemukan bahwa para pemenang Nobel bidang fisiologi atau kedokteran menghasilkan lebih sedikit naskah publikasi dibandingkan sejawatnya yang lain.

Sementara di bidang filsafat, ada Edmund Gettier, filsuf Amerika Serikat (AS) yang hanya menulis dua artikel dan satu resensi buku sepanjang kariernya sebagai filsuf tapi berhasil mendorong perubahan arah kajian filsafat pengetahuan.

Ini menunjukkan bahwa jumlah publikasi tidak menentukan kontribusi ilmuwan terhadap perkembangan bidang ilmunya. Karena itu, tidaklah tepat jika mengukur performa seorang akademisi dari jumlah publikasinya.

Kebijakan ini menjadi semakin problematik ketika dipadukan dengan keharusan publikasi di jurnal terindeks oleh lembaga tertentu, seperti Scopus dan Web of Science, yang kemudian dijadikan sebagai satu-satunya jaminan mutu. Seolah-olah, jika terbit di jurnal terindeks Scopus, apalagi Q1, sebuah artikel sudah pasti bagus.

Jumlah publikasi tidak menjamin kontribusi terhadap perkembangan bidang ilmu. Scopus Database (retrieved on June 29, 2024). Diolah oleh Arief Anshory Yusuf/UNPAD.

Faktanya, ada ratusan jurnal predator yang juga masuk dalam indeks Scopus dan jurnal-jurnal itu telah menerbitkan lebih dari 160 ribu artikel dalam rentang waktu tiga tahun. Ini berarti, artikel yang terbit di jurnal terindeks Scopus belum tentu bagus. Sebaliknya, artikel yang terbit di jurnal tidak terindeks Scopus belum tentu buruk.

Model alternatif

Kebijakan publikasi ilmiah yang memuja kuantitas dan indeks hanya akan melahirkan artikel-artikel jurnal nirfaedah. Perlu ada upaya serius untuk membenahi iklim riset dan kehidupan akademik di Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah dan pimpinan universitas perlu lebih merekognisi luaran riset selain jurnal dan prosiding—publikasi artikel ilmiah yang melewati proses seminar.

Selama ini, luaran riset seperti jurnal atau prosiding menggunakan mekanisme tinjauan sejawat sebelum terbit (pre-publication peer-review). Model publikasi ilmiah seperti ini telah diakui memiliki sejumlah kekurangan, seperti penuh bias, tidak efisien, mahal, dan membuka peluang kapitalisasi komunikasi ilmiah.

Sebagai gantinya, beberapa akademisi mengusulkan model alternatif publikasi ilmiah yang meletakkan proses peninjauan sejawat setelah publikasi (post-publication peer review). Model ini diusulkan antara lain oleh Gibson (2007), Nosek dan Bar-Anan (2012), Teixeira da Silva dan Dobránszki (2015), dan yang terbaru, Heseen dan Bright (2021).

Dalam model alternatif ini, seorang akademisi tidak perlu menunggu hasil ulasan sejawat agar karyanya dapat dibaca publik. Dia sendiri yang menentukan apakah karyanya sudah siap terbit atau belum. Ketika memang sudah siap terbit, karya tersebut dapat diunggah di platform daring terbuka, seperti arXiv, bioRxiv, PsyArXiv, SocArXiv, dan PhilArchive.

Kemudian, para ilmuwan dari bidang yang sama bisa memberikan respons terhadap karya tersebut. Publik pun juga dapat melihat perkembangan dan perdebatan terkait satu karya. Dengan cara ini, proses publikasi ilmiah menjadi lebih demokratis dan murah, karena tidak ada pihak yang mengambil keuntungan dari proses publikasi semisal dengan menarik bayaran.

Jurnal-jurnal tetap ada, tetapi fungsinya hanya untuk mengoleksi karya-karya yang sudah terbit sebelumnya dan dinilai memiliki kontribusi signifikan oleh komunitas ilmiah.

Lebih mudah, lebih murah, dan lebih demokratis

Terdapat beberapa manfaat dari model publikasi ilmiah semacam ini. Pertama, pengarang atau peneliti dapat membagikan karyanya secara langsung kepada publik, tanpa perantara penerbit. Kedua, proses publikasi menjadi lebih singkat dan sederhana.

Ketiga, model publikasi dengan tinjauan sejawat setelahnya dapat mengurangi ketimpangan gender dalam hal produktivitas. Pasalnya, dalam model publikasi dengan tinjauan sejawat di awal, perempuan cenderung menetapkan standar yang lebih tinggi daripada laki-laki karena berpikir karyanya akan mendapatkan pengujian yang lebih ketat oleh sejawatnya yang mayoritas adalah laki-laki.

Keempat, model publikasi dengan tinjauan sejawat setelahnya juga dapat mengurangi pengeluaran institusi. Para ilmuwan dapat menerbitkan karyanya secara gratis dan juga dapat mengakses karya ilmuwan lain secara gratis. Institusi tempat ilmuwan itu bekerja tidak perlu mengeluarkan biaya publikasi ataupun biaya langganan jurnal.

Kelima, model alternatif ini dapat mengubah sistem penilaian pekerja akademik. Universitas tidak akan lagi menilai dosen berdasarkan jurnal tempat ia menerbitkan karyanya, melainkan berdasarkan karyanya itu sendiri. Sejauh karya tersebut diakui memiliki kontribusi signifikan oleh komunitas akademis, maka pengarangnya layak mendapat tambahan kredit. Penilaian ini jauh lebih substansial ketimbang peringkat jurnal yang sebagian hanya label.

Keenam, fungsi penjagaan ilmu pengetahuan tidak diserahkan kepada segelintir orang tetapi kepada semua orang dalam komunitas ilmiah. Ini juga membuat proses publikasi dan ekosistem ilmiah secara umum menjadi lebih demokratis—yang menentukan karya dan karier seorang akademisi bukan lagi segelintir orang, melainkan semua anggota komunitas ilmiah.

Berbagai disiplin ilmu dan jurnal sudah bereksperimen dengan model ini, seperti F1000, Winnower, peerJ, dan PLoS. Jurnal-jurnal yang berasosiasi dengan European Geoscience Union, organisasi terkemuka untuk penelitian ilmu bumi, planet, dan luar angkasa di Eropa, juga dikelola dengan prinsip yang mirip dengan model ini dan situs web mereka pun mempunyai penjelasan yang jelas mengenai prosedur dan alasannya.

Artinya, model publikasi ini sudah mulai diuji sehingga layak dipertimbangkan oleh pemerintah dan universitas sebagai alternatif. Dengan demikian, jurnal-jurnal predator tidak akan laku dan para dosen dapat fokus memikirkan kualitas risetnya, daripada sibuk mencari-cari cara agar jurnal terindeks Scopus mau menerbitkan karyanya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 186,800 academics and researchers from 4,994 institutions.

Register now